Menyoroti Retorika Populis Gubernur Jabar KDM: Gaji Tunai Rp10 Juta per KK di DKI, Gagasan Absurd, Berpotensi Menjadi Jebakan Bat-Man
Menyoroti
Retorika Populis Gubernur Jabar KDM: Gaji Tunai Rp10 Juta per KK di DKI,
Gagasan Absurd, Berpotensi Menjadi Jebakan Bat-Man
Berita, Uncategorized / Tinggalkan
Komentar
WARTASUNDA.COM – Pernyataan Gubernur Jawa Barat, Dedi
Mulyadi, yang dikenal dengan sebutan KDM, terus memicu kontroversi.
Sebelumnya, KDM sempat
menyatakan bahwa jika dirinya menjadi Gubernur Jakarta, maka setiap kepala
keluarga akan menerima gaji sebesar Rp10 juta.
Ucapan ini kembali
menjadi sorotan setelah ditanggapi oleh Staf Khusus Gubernur dan Wakil Gubernur
DKI Jakarta Bidang Komunikasi Publik, Cyril Raoul Hakim alias Chico Hakim,
beberapa hari lalu. Atas hal tersebut, publik pun kembali ramai membahas
pernyataan itu, baik melalui pemberitaan media arus utama maupun di media
sosial (medsos).
Belakangan, Wakil
Gubernur DKI Jakarta Rano Karno turut angkat bicara. Meskipun singkat,
pernyataannya cukup jelas—ia meminta media untuk menanyakan langsung kepada KDM
terkait wacana gaji Rp10 juta per kepala keluarga di DKI Jakarta.Dalam
merespond KDM, chico menegaskan bahwa hitungan total gaji bagi jumlah 2 juta
Kepala Keluarga (KK) dikali dengan Rp 10 juta bukan 20 triliun.
Akan tetapi total
jumlah gajinya 2 juta KK menjadi 240 Triliun karena harus dikali 12 bulan dalam
satu Tahunnya. Kini pembahasan masalah ini semakin ramai dan menjadi pro kontra
dimasyarakat. Dengan demikian, saya merasa perlu angkat bicara.
Saya memandang penting
untuk memberi pemahaman yang konprehensif atas polemik itu. Tulisan ini saya
buat agar publik memahami secara benar tentang dasar, aturan, serta tujuan dari
pengelolaan keuangan negara atau daerah.
Mengelola dana publik
tidak bisa disamakan dengan mengelola panitia tour yang bisa dibagikan sesuka
hati. Uang rakyat bukanlah dana hibah bebas yang boleh dibagi-bagikan tanpa
perhitungan dan arah pembangunan yang jelas.
Dana rakyat digunakan
untuk membiayai pembangunan yang memberikan manfaat jangka panjang. Kebijakan
membagi-bagi uang tunai justru berisiko menciptakan kemalasan struktural di
tengah masyarakat.Jika dana publik dibagikan tanpa prinsip keadilan, tepat
sasaran, dan keberlanjutan, maka akan timbul efek negatif jangka panjang.
Masyarakat yang masih
dalam usia produktif akan kehilangan motivasi untuk bekerja, belajar, dan
berusaha. Ketergantungan terhadap pemberian tunai justru menjadikan masyarakat
tidak mandiri, malas dan berpotensi menjadi masyarakat dunggu.
Kondisi tersebut akan
semakin memburuk jika kebijakan membagi-bagi dana APBD dilakukan dalam waktu
jangka panjang. Damapk paling buruknya yaitu, bisa berujung pada kebangkrutan
fiskal daerah karena pengeluaran yang tidak seimbang dengan pendapatan. Kondisi
ini akan semakin berbahaya jika tidak dibarengi dengan peningkatan
produktivitas dan daya saing daerah.
Sebagai ilustrasi,
bayangkan seorang ayah yang kaya raya. Tentu sebagai orang tua yang bertanggung
jawab, ia tidak serta-merta membagikan semua hartanya kepada anak-anaknya. Ia
lebih memilih menyekolahkan mereka, memberi pelatihan, dan membentuk karakter
agar mandiri.
Sebab, harta yang
diberikan tanpa bekal ilmu dan keterampilan akan habis sia-sia, dan anak-anak
akan tumbuh tanpa kompetensi menghadapi masa depan. Akhirnya, setelah harta
habis, si anak menjadi miskin dan tidak punya daya saing.
Hal yang sama berlaku
pada daerah: jika dana publik hanya dibagi-bagikan, maka ketika cadangan fiskal
menipis, daerah akan mengalami krisis sosial dan ekonomi. Dari sini jelas bahwa
harta itu tak bisa dibagi sesuka hati melainkan hatus diatur secara bijak untuk
setiap pengunaannya.
Tujuannya agar bisa
bermanfaat tehadap siapapun kelak dikemudian hari. Dalam konteks APBD DKI
Jakarta yang memang besar, sekitar Rp91,34 triliun pada tahun 2025, perlu
dipahami bahwa anggaran sebesar itu bukanlah dana tunai yang bisa langsung
dibagikan begitu saja.
APBD tersebut harus
dialokasikan secara proporsional untuk berbagai pos belanja, antara lain
belanja pegawai sekitar 38,5%, belanja barang dan jasa sekitar 22,2%, belanja
modal sekitar 21,1%, serta belanja lainnya sebesar 18,2%.
Jika dirinci, maka
alokasi sebesar 38,5% dari total 91,34 Triliun APBD DKI berarti sekitar Rp35,1
triliun diperuntukkan bagi belanja pegawai. Selanjutnya, sekitar Rp20,2 triliun
dialokasikan untuk belanja barang dan jasa, sekitar Rp19,2 triliun untuk
belanja modal, dan sisanya, sekitar Rp16,6 triliun atau 18,2%, digunakan untuk
belanja lainnya yang bersifat mendesak seperti kewajiban utang, subsidi, hibah,
dan bantuan sosial.
Dengan struktur
anggaran tersebut, jika harus dialokasikan Rp20 triliun dari total Rp91,34
triliun hanya untuk menggaji masyarakat sebesar Rp2 juta per KK, maka
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mengalami defisit serius.
Hal ini akan
menyulitkan pemenuhan kewajiban utama seperti belanja pegawai, operasional
pemerintahan, pembangunan infrastruktur, dan pelayanan sosial dasar. Akibatnya,
berpotensi menimbulkan instabilitas pemerintahan serta berbagai dampak buruk
lainnya yang lebih luas.
Gagasan KDM Tidak
Layak Diterapkan di JakartaMerujuk uraian tersebut diatas, maka dengan
demikian, gagasan seperti yang dilontarkan Gubernur Jawa Barat KDM tidak layak
diterapkan di Provinsi DKI Jakarta. Ide tersebut patut diduga sebagai gagasan
perangkap karena berpotensi menjadi “jebakan Bat-Man” yang bisa membahayakan
siapapun Gubernur DKI Jakarta yang nekat menjalankannya. Hal ini karena gagasan
KDM tersebut dapat menjebankan defisit anggaran serius.
Selain itu ide
tersebut juga dapat dianggap bertentangan dengan prinsip tata kelola keuangan
daerah yang sehat dan bertanggung jawab.Lebih lanjut, saya ingin menegaskan
bahwa saat ini dunia tengah memasuki masa-masa sulit, sehingga sudah sepatutnya
fokus diarahkan pada efisiensi, bukan pada pembagian dana APBD secara
sembarangan.
Bahkan, berdasarkan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 2025 dan Instruksi Gubernur Nomor 2 Tahun 2025, Pemprov
DKI Jakarta telah berhasil menghemat hingga Rp1,5 triliun melalui penyisiran
berbagai program agar anggaran menjadi lebih efisien dan tepat sasaran.
Artinya, yang sedang
dijalankan adalah semangat penghematan dan efektivitas, bukan semangat
populisme berbasis kalkulasi semu seperti membagi-bagi APBD.Kalkulasi yang
dilakukan oleh KDM pun secara hitungan sangat keliru. Jika diasumsikan ada 2
juta kepala keluarga dan masing-masing diberi Rp10 juta per bulan, maka itu
setara dengan Rp20 triliun per bulan atau Rp240 triliun per tahun. Ini jauh
melampaui total APBD DKI yang hanya Rp91,34 triliun.
Jika gagasan KDM
dijalankan, maka dengan seketika Jakarta akan langsung Bangkrut!Artinya, skema
tersebut bukan saja tidak realistis, tetapi juga secara fiskal mustahil
diterapkan.
Hal inilah yang
dijelaskan oleh Chico Hakim sebagai Staf Khusus Gubernur DKI, bahwa meskipun
niat KDM bisa saja didasari keinginan untuk menyejahterakan rakyat, namun tetap
harus berbasis pada kalkulasi dan regulasi yang benar.Gubernur Jawa Barat KDM,
atau para pendukungnya, bisa saja membantah dan berdalih bahwa yang dimaksud
adalah Rp10 juta per kepala keluarga dalam satu tahun.
Dengan asumsi
tersebut, angka Rp20 triliun mungkin tampak lebih rasional. Namun demikian,
membagi-bagikan uang rakyat dari APBD dengan alasan apa pun tetap tidak dapat
dibenarkan. Dalam konteks ini, sekali lagi saya tegaskan bahwa terdapat banyak
aturan yang wajib dipatuhi oleh seorang gubernur dalam mengelola keuangan
daerah.
Terlebih khusus untuk
APBD DKI Jakarta yang mencapai Rp91,34 triliun, anggaran tersebut berisiko
besar mengalami defisit jika gagasan dari Gubernur Jawa Barat KDM diterapkan.
Dalam konteks ini,
pemerintah memiliki aturan yang ketat. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara menegaskan bahwa pengelolaan keuangan negara harus
dilakukan secara tertib, taat hukum, efisien, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab.
Sementara itu,
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
mengatur seluruh siklus pengelolaan keuangan daerah. Aturan ini mencakup mulai
dari perencanaan hingga pengawasan, termasuk pengelolaan pendapatan, belanja,
dan aset daerah. Semua ini juga harus diatur dengan cermat, efisien dan tepat.
Selain itu, masih
terdapat banyak regulasi lainnya yang mengatur pengelolaan keuangan daerah,
termasuk Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Daerah (Perda), Peraturan
Gubernur (Pergub), dan berbagai regulasi teknis lainnya. Setiap rupiah dalam
APBD harus memiliki dasar hukum yang jelas, masuk dalam perencanaan
pembangunan, dan memiliki output serta outcome yang terukur.
Tidak ada satupun
aturan yang memungkinkan kepala daerah membagi uang APBD secara langsung dalam
bentuk tunjangan tunai kepada seluruh kepala keluarga, kecuali melalui skema
perlindungan sosial yang ketat dan terbatas seperti bantuan untuk fakir miskin,
disabilitas, atau lansia.
APBD digunakan untuk
membiayai kegiatan pemerintahan daerah. Pengalokasian dana APBD ditujukan untuk
kegiatan pembangunan, pelayanan publik, dan berbagai program lainnya yang
mendukung kesejahteraan masyarakat secara umumOleh karena itu, wacana
membagikan Rp10 juta kepada seluruh kepala keluarga adalah gagasan yang absurd.
Pandandangan ini juga
dapat dianggap konyol karena tidak berdasar, dan sangat bertentangan dengan
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Apalagi jika
diterapkan di Jakarta, yang merupakan pusat pemerintahan, ekonomi, dan simbol
kemajuan nasional.
Jakarta membutuhkan
pemimpin yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan dan memiliki wawasan
global, bukan sekadar pemimpin yang mengumbar janji tunai, menggoda telinga
namun menyesatkan logika fiskal. Kita tidak bisa mewujudkan target menjadikan
Jakarta sebagai salah satu dari 50 kota global di dunia hanya dengan gagasan
kosong.
Wacana semacam itu
hanyalah retorika populis tanpa dasar keuangan yang kuat dan tanpa perencanaan
jangka panjang yang matang.Dengan demikian, saya ingin menegaskan bahwa
kebijakan Gubernur Jakarta tidak dapat disamakan dengan kebijakan di Jawa
Barat.
Jakarta adalah Ibu
Kota Negara yang memerlukan perencanaan matang serta penanganan berbagai
persoalan kompleks yang harus diselesaikan secara tepat dan cepat.
Tujuan setiap pemimpin
atau Gubernur Jakarta telah ditetapkan secara jelas dan ketat sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan, bukan melalui kebijakan populis
tanpa dasar hukum yang sah dan terukur.
Jakarta, 14 Maret 2025
Wassalam,Sugiyanto (SGY)-Emik
0 Response to "Menyoroti Retorika Populis Gubernur Jabar KDM: Gaji Tunai Rp10 Juta per KK di DKI, Gagasan Absurd, Berpotensi Menjadi Jebakan Bat-Man"
Posting Komentar